Selasa, 24 Desember 2013

Keistimewaannya adalah hadiah terindah Tuhan



Libur yang panjang hari ini teman. Tidak ada pekerjaan karena pekerjaan yang saya tunggu tak kunjung menghampiri. Jadi jangan salahkan saya kalau saya tetap menulis sepanjang hari ini. Sunggu menyenangkan ketika otak, mata, dan tangan bekerja selaras untuk terus menulis kejadian demi kejadian yang terjadi dalam hidup.

Kalian pernah menonton video motivasi di mana mereka yang mampu berlari walau tidak punya tangan dan kaki yang sempurna. Wanita tanpa lengan mengkuti pertandingan renang. Mereka tanpa lengan kaki kanan berusaha berlari dan loncat. Mereka yang menangis dalam kemenangan mereka bukan karena merasa mengalahkan kompetitor yang lain. Mereka menangis karena berhasil mengalahkan diri mereka sendiri, musuh paling besar mereka. Mereka berhasil mengalahkan ketidakpercayaan diri mereka, ketidakberdayaan mereka. Mereka menangis bukan untuk menunjukkan kalau mereka mampu berlari tapi karena mereka berhasil membuat kita yang menonton ikut meneteskan mata juga.

Lalu di manakah letak syukur kita?

Minggu, 22 Desember 2013

Dr Ayu, Keadilan yang Ironi

VSelamat malam semua teman-temanku. Kita sudah lama tidak bertemu untuk bertukar pikiran tentang hal baru yang ada di Indonesia. Hal yang tidak pernah muncul di benak kita kalau kita tidak saling bercerita atau pun bertukar pikiran. Hal yang tidak pernah kita angankan akan terjadi di Indonesia. Pernahkah kalian menerka bahwa lebih dari seratus dokter melakukan demo di sekitar Senayan-Sudirman-Thamrin melewati Bundaran HI yang terkenal dengan aksi demo buruh waktu lalu? Siapa yang mengira dokter yang sudah terkenal dengan kehigienisannya mau berkotor-kotor kena asap knalpot motor dan mobil hanya karena seorang dokter wanita di Manado, Sulawesi Utara? Siapa pula mengira kalau kemarahan dokter yang teramat sangat itu karena putusan 'bodoh' majelis hakim di Mahkamah Agung, kekuasaan kehakiman paling tinggi di Indonesia? Siapa yang akan tidak takut ketika satu hari saja dokter mogok untuk tidak bekerja. 

Cerita kali ini hanyalah kutipan dari cerita seorang dosen hukum pidana yang saya dengar beberapa hari ini. Ilmu hukum pidana saya sangat cetek, mungkin setetes air hujan pun tidak ada. Jikalau ada kesalahan dalam istilah, nama, tempat, dan hal terkait dengan peristiwa mohon untuk dimaklumi.  Saya harap bahwa inti dari cerita ini dapat tersampaikan kepada teman-teman yang membaca blog ini. Mungkin sampai setahun tulisan ini ditulis hanya tiga orang saja yang membaca tulisan ini. Tidak apalah yang penting sudah bermaksud bertukar pikiran.
Saya kutip berita dari tribun sebagai bahan pembanding terhadap tulisan saya:

TRIBUNNEWS.COM, MANADO - Satu demi satu, dokter yang menangani pasien Siska Makelty hingga meninggal dunia ditangkap.
Setelah lama menjadi buron, dr Dewa Ayu Sasiary Prawarni Sp OG dan dr Hendry Simanjuntak Sp OG akhirnya dieksekusi jaksa di dua tempat yang berbeda berselang sekitar tiga pekan. Kini, jaksa masih memburu dr Hendy Siagian Sp OG.
Mereka sebelumnya masuk dalam daftar pencarian orang (DPO), pascaputusan kasasi yang telah berkekuatan hukum tetap dari majelis kasasi Mahkamah Agung (MA). Adalah hakim agung Artidjo Alkostar, Dudu Duswara dan Sofyan Sitompul yang menjatuhi para dokter itu vonis bersalah.
Ketiga dokter itu, sempat dibebaskan oleh majelis hakim tingkat pertama di Pengadilan Negeri Manado. Majelis hakim menyatakan, tiga dokter spesialis itu tidak terbukti melakukan kelalaian. Namun, oleh majelis kasasi, putusan itu dibatalkan.
Bagaimana putusan kasasi tersebut? Artidjo dan dua hakim anggotanya menemukan kekeliruan penafsiran oleh hakim PN Manado. Majelis menyatakan, tiga dokter itu terbukti melakukan kesalahan seperti diatur dalam Pasal 359 KUHP. Maka, majelis kasasi menjatuhkan hukuman kepada tiga dokter muda itu pidana penjara masing-masing 10 bulan.
"Menyatakan para terdakwa dr Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr Hendry Simanjuntak dan dr Hendy Siagian telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana 'perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain," demikian bunyi putusan kasasi seperti dimuat di laman MA.
Dalam putusan, majelis kasasi menemukan kesalahan yang dilakukan dr Ayu dan dua koleganya. Kesalahan para dokter itu, menurut hakim, yakni tidak mempertimbangkan hasil rekam medis dari puskesmas yang merujuk Siska Makatey.
Rekam medis itu menyatakan, saat masuk Rumah Sakit (RS) Prof RF Kandou, Malalayang, Manado, keadaan Siska Makatey adalah lemah. Selain itu, status penyakitnya adalah berat.
Kesalahan kedua, seperti dalam pertimbangan majelis kasasi, sebelum menjalankan operasi darurat kelahiran atau cito secsio sesaria, ketiga dokter itu tidak pernah menyampaikan kepada keluarga pasien setiap risiko dan kemungkinan yang bakal terjadi, termasuk risiko kematian.
Dalam dakwaan jaksa bahkan dijelaskan, tanda tangan Siska yang tertera dalam surat persetujuan pelaksanaan operasi berbeda dengan tanda tangan Siska pada kartu tanda penduduk (KTP) dan Kartu Askes-nya. Dokter Hendy-lah yang bertanggung jawab untuk meminta tanda tangan Siska.
Kesalahan ketiga, para dokter itu melakukan kelalaian yang menyebabkan udara masuk ke dalam bilik kanan jantung Siska. Hal itu menghambat aliran darah yang masuk ke paru-paru hingga terjadi kegagalan fungsi jantung. Berefek domino, hal itu mengakibatkan kegagalan fungsi jantung.
Dalam dakwaannya, jaksa menjabarkan, sebelum melakukan operasi, dokter tidak melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung dan foto rontgen dada. Padahal, sebelum dibius, tekanan darah Siska tergolong tinggi, yaitu mencapai 160/70.
Pemeriksaan jantung baru dilakukan pascaoperasi dilaksanakan. Dari pemeriksaan itu disimpulkan Siska mengalami kelainan irama jantung. Denyut nadi Siska, pascaoperasi mencapai 180 kali per menit.
Hal itu, pertanda bahwa pada jantung pasien terjadi kegagalan akut karena terjadi emboli, yaitu penyumbatan pembuluh darah oleh suatu bahan seperti darah, air ketuban, udara, lemah atau trombus.
Menurut saksi Najoan Nan Warouw, Konsultan Jaga Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan yang bertugas saat operasi dilaksanakan, keadaan yang dialami Siska pasti menyebabkan kematian.
"Selanjutnya, korban dinyatakan meninggal dunia oleh bagian penyakit dalam," kata memori kasasi jaksa.
Majelis kasasi menilai, kesalahan itu mempunyai hubungan sebab dan akibat dengan meninggalnya Siska. "Perbuatan para terdakwa mempunyai hubungan kausal dengan meninggalnya Siska Makatey," kata majelis kasasi dalam putusan.
Dalam pertimbangan majelis kasasi, hal yang meringankan dr Ayu dan kawan-kawan, yakni saat melakukan operasi, ketiganya masih menempuh pendidikan pada Program Pendidikan Dokter Spesialis Universitas Sam Ratulangi Manado. Artinya, saat melakukan operasi itu, tiga dokter itu belum menjadi dokter spesialis kandungan, meski kini sudah.
Akibat putusan MA itu, para dokter yang tergabung di beberapa organisasi profesi dokter menyampaikan protes dengan mogok praktik hari ini. Meski demikian, anggota majelis kasasi Sofyan Sitompul bergeming. Pasalnya, putusan kasasi memang bersifat final dan mengikat. "Sudah adil. Sudah sesuai," katanya, Selasa (26/11/2013).

Bagaimana Anda puas hanya membaca artikel ini tanpa mencernanya kembali dan Anda setuju dengan keputusan hakim ini? Lihat artikel di bawah ini.


Kasus krusial dan ironis ini berawal dengan putusan hakim MA bahwa Dr Ayu diputus hukuman penjara selama 10 bulan. Sontak dokter seantero nusantara bereaksi. Di manakah sehatnya akal hakim itu ketika seorang dokter hanya bermaksud menolong pasien tapi malah diputus bersalah. Memang sang pasien meninggal dunia karena udara atau darah (saya tidak tahu yang mana) maksud ke jantung. Dokter bedah dengan 100 surat izin praktikpun tidak akan mampu mencegah keinginan Tuhan tersebut. Mana bisa seorang seorang dokter reseiden dipersalahkan karena kematian seorang pasien. Saya sangat yakin kejadian ini bukan pertama kalinya terjadi. Yaitu ketika seorang dokter gagal menolong jiwa sang pasien. Namun hal ini pertama kalinya terjadi ketika kerabat pasien tidak mampu menahan kesedihannya sampai menuntut sang dokter ke meja hijau.

Peristiwa ini berawal dari seorang dokter wanita sekaligus ibu rumah tangga sedang berjaga di rumah sakit. Dia kedatangan pasien wanita yang akan melahirkan. Sang pasien meronta kesakitan dan tanpa pikir panjang meminta dokter itu untuk menolongnya. Dokter menyadari sang pasien tidak dalam kondisi sehat. Sudah ditunggu keluarga pasien tidak ada yang datang akhirnya tanpa persetujuan keluarga korban dokter tersebut melakukan operasi terhadap pasien. Tuhan berkehendak lain jiwa pasien tidak tertolong. 

Sangat disayangkan keluarga menuntut sang dokter di meja hijau karena ada dugaan mal praktik. Pada tingkat pengadilan negeri sang dokter diputus bebas karena tidak ada bukti adanya mal praktik dalam hal ini. Walau sang dokter adalah residen (yaitu dokter yang sedang  mengambil spesialis dan sedang magang di rumah sakit), sang hakim memutus bebas sang dokter. Keluarga menuntut kasasi kepada mahkamah agung. Hakim mahkamah agung memutus bersalah. Jaksa umum menuntut menggunakan peraturan kodifikasi yaitu KUHP (kitab undang-undang hukum pidana), yaitu pasal xxx (saya lupa hehe) yang isinya bahwa  setiap orang yang karena kealpaannya membuat orang meninggal dunia dapat dikenakan hukum penjara selama maksimal 5 (?) tahun. Saya lupa pasal dan berapa tahun. 

Alasan:
Keputusan hakim MA ini dipandang sangat lucu karena sudah sangat jelas bahwa dalam hukum tertera bahwa lex specialis derogat le generalis, mengapa seorang hakim tidak mampu menerapkannya. Undang-Undang tentang praktik kedokteran dan kode etik profesi dokter seharunya dijadikan lex specialis mengalahakan KUHP karena KUHP adalah lex generalis. Jelas hukum khusus mengalahkan hukum yang umum. Sangat lucu ketika ahli hukum menggunakan hukum umum yaitu KUHP. Ini baru satu alasan putusan hakim MA ini patut untuk dipertanyakan. 

Dalam UU tentang praktik kedokteran diterangkan bahwa dokter wajib untuk mendapatkan persetujuan keluarga untuk dapat melakukan tindakan medis terhadap pasien. Namun, di sana tidak ada sanksi yang mengatakan jikalau tidak ada persetujuan. Ini tindakan prosedural yang biasanya ada di dalam praktik kedokteran untuk meminta persetujuan. Pasal lain mengatakan pula dokter dapat melakukan tindakan medis segera terhadap sang pasien. Ini jelas ada pengecualian terhadap pasal sebelumnya. Hakim sayangnya tidak memakai dasar hukum ini walau maksud sang dokter dalam keadaan mendesak menolong sang pasien. Malah hakim menggunakan pasal KUHP yang sangat umum.

KUHP dalam pasal ini menerangkan bahwa ada yang disebut sebagai orang yang alpa (yaitu dokter) dan ada korban yang meninggal. Namun, adanya kealpaan itu menjadi sebab suatu kejadian terjadi. Seharusnya ada sebab dan akibat yang sinkron antara sebab dan akibat itu. Sayangnya dalam masalah ini kejanggalan muncul. Ketidaksinkronan antara sebab dan akibat. Hakim ini menyatakan bahwa dokter ini didakwa karena dokter ini tidak memiliki surat izin praktik dan tidak adanya persetujuan antara keluarga dan dokter untuk melakukan tindakan medis terhadap pasien. Dua alasan ini menjadi alasan mengapa dokter diputus bersalah sehingga menyebabkan kematian pasien. Sudah terlihatkah kejanggalan di mata Anda? Belum ? saya akan jelaskan kepada semua. Seharusnya ada hubungan sebab dan akibat. Sebab: tidak memiliki SIP dan tidak ada persetujuan dengan keluarga. Akibat: orang meninggal dunia. Lalu apa hubungannya kalau tidak ada SIP orang bisa meninggal. Lalu kalau dokter punya SIP, orang tersebut akan tetap hidup? Saya tidak mampu menangkap logika berpikir ini. Lalu kalau ada surat persetujuan keluarga dengan dokter dapat dipastikan kalau orang itu akan bertahan hidup? Sekali lagi sudah saya katakan sebelumnya ada gangguan dalam jantungnya, dokter dengan 10 SIP pun tidak mampu menolong keadaan alam seperti itu. Inilah alasan kedua putusan hakim MA ini dipertanyakan. Patutkah dua dakwaan ini dijadikan alasan untuk menghukum sang dokter yang hanya bermaksud menolong.

Terkait dengan masalah SIP, surat izin praktik, hanya bisa di dapat jika sang dokter sudah lulus dari spesialisnya baru dengan segala embel-embel persuratan dan administrasi yang harus ditempuh sehingga akhirnya mendapat surat izin praktik. Mana mungkin hakim dapat meminta ada tidaknya surat izin praktik sedangkan sang dokter baru mengambil spesialisnya saat ini. Sudah dapat dipastikan bahwa surat izin tidak dipegang oleh sang dokter. Lalu mengapa sang hakim tetap menanyakan kepadanya dan menjadikan SIP sebagai alasan salahnya tindakan dokter ini. Bagian mana yang membuat Anda tertawa saat ini? Jelas sudah kalau dokter itu sedang menempuh spesialis. Titik, tidak ada koma.

Kalau benar hakim  menyatakn final atas putusannya, putusan ini akan menjadikan precedent yang buruk untuk keputusan hakim selanjutnya. Precedent adalah keputusan hakim terdahulu yang menjadi acuan dalam  keputusan hakim selanjutnya. Ketika seorag dokter gagal menolong orang maka dia akan dijatuhi hukuman. Kalau seperti ini maka akan membahayakan manusia Indonesia. Mengapa? Bayangkan kalau dokter akhirnya mengambil jalur aman, yaitu tanpa melakukan apa-apa terhadap pasien. Misal hanya dengan menulis rujukan ke rumah sakit di kota besar, pasien pun meninggal di ambulan pun tidak ada yang akan dipersalahkan. Bayangkan kalau semua dokter melakukan hal tersebut,toh kalau jiwa seseorang tidak tertolong atas tindakan tulus sang dokter, dokter pun akan tetap dipenjara. Lalu untuk apa dokter menolong? bermaksud baik atau tidak pun tidak ada penjelasan apa pun atas tindakan sang dokter karena dokterlah yang tahu keadaan pasiennya. Keluarga pun tidak tahu bukan?

Di samping itu keadaan di rumah sakit. Tidak semua dokter yang sudah punya SIP itu stand by di rumah sakit, sudah menjadi suatu kebiasaan jika dokter spesialis bekerja di siang hari dan malam hari dokter magang diberi otoritas untuk menangani pasien yang datang. Dokter satu itu tidak mungkin untuk menangani semua pasien yang ada setiap hari maka dari itu dokter - dokter residen diberdayakan untuk membantu dokter di rumah sakit. Dokter-dokter ini diberdayakan untuk bergantian berjaga di rumah sakit. Itu suatu kewajaran. Kok ini masih ini dipertanyakan adanya SIP.

Hal lain yang mungkin terlupa kepada kita bahwa Indonesia sangat menganut adanya legalitas yaitu suatu perbuatan dapat dihukum jika undang-undang sudah menyatakan itu salah. Kita sangat leterlek mengambil keputusan hanya dari hukum tertulis, jelas disini hanya mengambil KUHP saja (KUHP saja masih dipetanyakan). Padahal sumber hukum bukan hanya UU atau legalitas saja. Masih ada sumber hukum yang lain yaitu kebiasaan (yaitu kebiasaan di rumah sakit untukmeperkerjakn mahasiswa yang masih menempuh spesialis untuk berkerja di di rumah sakit dan diberikan otoritas untuk menangani pasien). Selain itu ada pula doktrin dari ahli (saya tidak ahli bidang apa, bisa saja hukum. Saya sedang mencari buku apa dan internet sumber doktrin barat ini). Doktrin adalah pendapat ahli hukum. Doktrin ini mengatakan bahwa intinya jika ada dokter bedah yang karena kealpaannya (atau ketidaksengajaan) menyebabkan sesuatu yang tidak baik terjadi pada pasien (meninggal di sini) maka dokter bedah ini harus mengganti rugi berupa denda. Doktrin sudah jelas menerangkan bahwa perkara ini masuk dalam perkara perdata. Mengapa tiba-tiba muncul dan masuk dalam perkara pidana? Saya tidak tahu apa sebabnya. Doktrin terkenal sekali di kalangan hukum dan medis dan diterapkan di mana saja karena ahli hukum ini diakui kecakapannya dalam hukum. Mengapa doktrin ini tidak dipakai dalam keputusan MA?

Hal yang bisa saya simpulkan. Mungkin saja hakim di MA tidak mahir berbahasa Inggris sehingga tidak mampu mencerna maksud dari doktrin berbahasa asing ini. Ya saya hanya  menerka saja. Menurut cerita yang saya dengar para hakim ini pernah studi banding ke Melbourne, Australia. Semua percakapan dan tulisan pasti menggunakan bahasa Inggris. Lalu apa yang akhirnya mereka bawa ke Indonesia? Siapa yang tahu. Saya hanya rakyat biasa.

Mungkin ini tulisan saya yang paling berisi menurut saya selain pengalaman hidup yang saya alami. Setidaknya ada sedikit pencerahan mengapa kasus ini muncul dan saya dapat memahami asal muasal dan mampu bercerita kepada teman-teman yang sekedar iseng bertanya tentang kasus ini. Namun, inti yang saya tangkap dari cerita ini adalah bahwa hukum itu diciptakan untuk menciptakan keadilan tetapi hukum lah yang mampu pula menciptakan ketidakadilan. Sangat klasik berbicara keadilan. Hidup harus adil, menempatkan sesuatu pada tempatnya itu adil. Hukum di Indonesia menurut pribadi saya masih melihat leterlek apa yang ada dalam pasal pada undang-undang tanpa memahami maksud dari isi pasal itu. Ya, tentu saya tahu karena selama tiga tahun saya harus membaca dan menghapal isi dari undang-undang, peraturan menteri, dan surat edaran dirjen. Yang saya tahu bagaimana jika ada kasus ini ditangani dengan pasal ini. Titik. tanpa memandang lagi pasal atau aspek lain. Ya, sekarang waktu bagi saya untuk memahami isi pasal tidak hanya sekedar hapal pasal.

Satu hal lagi yang saya lupa sampaikan efek dari putusan hakim ini selain menjadikan precedent yang sangat buruk, ada akibat yang lebih parah lagi. Jika semua dokter akhirnya tidak mau menolong orang lain karena tidak mampu melakukan hal prosedural, maka bayangkan semua dokter hanya akhirnya menuliskan surat rujukan ke rumah sakit lain dan dia tidak mau menangani pasien itu. Bayangkan tidak hanya satu dokter tapi semua dokter di Indonesia melakukan hal yang sama. Maka ketika pasien meninggal di ambulans, dokter akan tetap aman karena tidak melakukan apa-apa setidaknya. Siapa yang mau menolong tapi malah dipenjara? Hal lucu lagi yang terjadi di Indonesia. LAIN pula ketika akhirnya semua dokter magang di rumah sakit di pelosok semua ditarik kembali ke Jakarta dan tidak lagi menangani pasien di daerah terpencil, lalu berapa lagi korban yang akan meninggal lagi? Berapa banyak nyawa yang akan hilang sia-sia karena keputusan hakim ini. 

Saya sama sekali tidak bermaksud membela satu pihak, saya hanya bercerita fakta. Satu lagi di akhir cerita sang hakim mengatakan ini sudah adil. Bagian mana yang disebut adil huh? ketika ribuan nyawa tidak dapat tertolong karena keputusan hakim ini. Ketika ribuan dokter tidak bekerja dengan hati dan bekerja menurut prosedur yang ada.  Bayangkan kalau Anda keluarga pasien dan hanya pasrah menerima surat rujukan tanpa da pertolongan lebih lanjut dari dokter. Anda tidak akan mampu bayangkan bagaiman ajika dokter dokter marah. Lalu bagian mana lagi yang Anda dapat sebut sebagai keadilan ketika langkah prosedur harus dilakukan?

Kasus meninggalnya pasien adalah suatu kebiasaan yang mungkin saja terjadi. Semua kematian dan kehidupan sudah ada yang mengatur lewat tangan dokter. Jika semua dokter dipersalahkan karena meninggalnya pasien, salahkan saja dokter dan tidak usah ada dokter lagi karena keluarga korban tidak mapu mengontrol emosi.

Seperti yang saya katakan hukum di Indonesia masih leterlek, atau masih berpacu pada tulisan dan legalitas yang ada. Artinya segala sumber hukum itu tertulis (pokoknya). Sayangnya Indonesia masih mengandalkan kepastian hukum di bawah payung rule of law (negara berdasarkan hukum). Yang penting suatu kasus sudah ditangani sesuai dengan prosedur dan pasal yang ada. Titik. Jika sudah dilakukan, hakim akan lepas dari tanggung jawab karena sudah melaksanakan kewajiban dalam memutuskan. Keadilan tidak menjadi pokok  utama dalam mengambil keputusan. Semua berdasarkan pasal. Mana yang disebut adil padahal hukum itu dibuat untuk keadilan. 

OK kita ulas lagi alasan sang hakim:
Kesalahan para dokter itu, menurut hakim, yakni tidak mempertimbangkan hasil rekam medis dari puskesmas yang merujuk Siska Makatey. Rekam medis itu menyatakan, saat masuk Rumah Sakit (RS) Prof RF Kandou, Malalayang, Manado, keadaan Siska Makatey adalah lemah. Selain itu, status penyakitnya adalah berat. Iya, dokter pasti tahu hal ini. Karena pasien mengerang kesakitan lalu apalagi yang akan dilakukan oleh dokter? Sudah diminta puasa juga si pasien ketika akan dioperasi. Pasien sendiri sudah tidak mampu menahan sakitnya. Apakah patut dokter hanya mendiamkan. Lalu menurut salah satu dokter bahwa ada ketika pasien siap untuk dilakukan operasi dan dalam keadaan sehat (setidaknya mampu untuk dilakukannya operasi sesuai dengan aturan kedokteran). Lagipula apakah salah dr Ayu langsung melakukan operasi darurat karena melihat kondisi pasien yang darurat pula? Salahkan saja dokter yang bertanggung jawab pada pasien karena tidak memiliki obat pasiennya.

Kesalahan kedua, seperti dalam pertimbangan majelis kasasi, sebelum menjalankan operasi darurat kelahiran atau cito secsio sesaria, ketiga dokter itu tidak pernah menyampaikan kepada keluarga pasien setiap risiko dan kemungkinan yang bakal terjadi, termasuk risiko kematian. Iya tidak menyampaikan karena pihak keluarga tidak kunjung datang, lalu apakah salah jika dokter langsung segera menolongnya atau salahkah kalau hanya diam saja. Pastikan saja ketika dokter diam saja pasien mati ketika dioperasi pilihannya masih ada dua yaitu hidup atau mati. Kenapa tidak memberikan saja pada dua pilihan?


Kesalahan ketiga, para dokter itu melakukan kelalaian yang menyebabkan udara masuk ke dalam bilik kanan jantung Siska. Hal itu menghambat aliran darah yang masuk ke paru-paru hingga terjadi kegagalan fungsi jantung. Berefek domino, hal itu mengakibatkan kegagalan fungsi jantung.
Dalam dakwaannya, jaksa menjabarkan, sebelum melakukan operasi, dokter tidak melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung dan foto rontgen dada. Padahal, sebelum dibius, tekanan darah Siska tergolong tinggi, yaitu mencapai 160/70. Pemeriksaan jantung baru dilakukan pascaoperasi dilaksanakan. Dari pemeriksaan itu disimpulkan Siska mengalami kelainan irama jantung. Denyut nadi Siska, pascaoperasi mencapai 180 kali per menit. Hal itu, pertanda bahwa pada jantung pasien terjadi kegagalan akut karena terjadi emboli, yaitu penyumbatan pembuluh darah oleh suatu bahan seperti darah, air ketuban, udara, lemah atau trombus. Menurut saksi Najoan Nan Warouw, Konsultan Jaga Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan yang bertugas saat operasi dilaksanakan, keadaan yang dialami Siska pasti menyebabkan kematian. Kelalaian yang mana? saya tidak tahu lalai seperti apa kejadian persinya karena saya bukan dokter yang ada di sana. Kelalaian yang bagaiman akhirnya aliran darah masuk ke paru paru sehingga kegagalan fungsi jantung? Saya tidak mempu menjelaskan hal medis bahwa dokter melakukan apa sampai udara masuk ke pembuluh darah (jantung) lalu gagal jantung dan akhirnya meninggal. Ini bentuk kelalaian yang seperti apa? Menurut dokter itu bahwa sampai sekarang di literatur manapun tidak ada yang menerangkan mengapa sampai emboli udara masuk ke dalam jantung. Penyebabnya saja para dokter belum tahu. Prosedur operasi pun sesuai dengan prosedur yang benar melakukan bius lokal. Sayangnya ketika dibangungkan sang pasien tidak bangun-bangun. Lalu mana lagi yang disebut lalai? Manakah tindakan yang dapat disebut lalai?

Sekian cerita saya, bila ada sanggahan silakan, saya masih bercerita dari sisi sang dokter. Jikalau ada yang tidak setuju, hal itu adalah suatu kewajaran karena perbedaan itu menjadikan kita lebih tahu mana hal yang kurang untuk diperbaiki bukan untuk disempurnaka karena kesempurnaan adalah milik Tuhan.
Spasiba