Rabu, 23 Oktober 2013

Loncer dari Kiri ke Kanan

Herwin Kurniawati,
Nama itu dipanggil. Kaki maju melangkah dengan bangga. Bibir mencoba untuk mengukir senyum di wajah. Gigi putihnya terlihat sedikit menemani senyum merahnya. 
Perasaan yang coba dibangun, yaitu Kebanggan. Tali sebelah kiri digerakkan ke arah kanan. Penerimaan tabung ungu di tangan kanan. Terdengar di telinganya, "terus belajar, ya". Entah hanya telinganya saja yang salah atau memang senat di depan memberikan pesan demikian. Sebenarnya dia masih memikirkan apa yang dia dengar kemarin. Riuh rendah suara meredam pesan itu. Lalu berjalan ke arah para hadirin semua dan senyumnya bertambah lebar. Membangun kebanggaan atas diri. Kembali duduk dan tersenyum ke arah kawan berjubah hitam di sebelahnya.

Menjadi Bangsa yang Terbaik

Mengayuh sepedaa tuamu tanpa lelah
Keringat mengucur deras dari dahi tidak kau hiraukan

Cuplikan puisi di atas bercerita tentang perjuangan guru atau pendidik demi memperjuangkan kecerdasan. Kalau melihat itulah salah satu tujuan dibentuknya negara (Indonesia), yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, salah satunya lewat guru atau pendidik. Saya tidak akan bercerita tentang pendidik yang materialistis, karena saya percaya bahwa tidak ada pendidik yang materialistis. Pendidik akan selalu membuat dirinya lebih baik agar dapat dilihat dan ditiru oleh para anak didiknya, salah satu guru (read: lecturer) saya. 

Terlepas dari ada tidaknya gaji yang didapat beliau, beliau (tanpa sebut nama) meluangkan waktu padat beliau demi membimbinga anak didiknya dalam ikut suatu kompetisi penelitian ilmiah. Waktu minggu pun beliau sempatkan. Walau beliau terkesan marah dan terlalu membuat  down  anak didiknya, beliau tetap memberikan solusi. Mungkin saya tidak bisa bilang marah atau mengunderestimate  anak didik. Beliau hanya 'terlalu' tegas atau tegas, entah dari ketepatan waktu datang, susunan format penulisan, mencetak hasil tulisan kami, membaca dengan cermat aturan yang seharusnya ada, dan lain-lain terkait proses belajar.