VSelamat malam semua teman-temanku. Kita sudah
lama tidak bertemu untuk bertukar pikiran tentang hal baru yang ada di
Indonesia. Hal yang tidak pernah muncul di benak kita kalau kita tidak saling
bercerita atau pun bertukar pikiran. Hal yang tidak pernah kita angankan akan
terjadi di Indonesia. Pernahkah kalian menerka bahwa lebih dari seratus dokter
melakukan demo di sekitar Senayan-Sudirman-Thamrin melewati Bundaran HI yang
terkenal dengan aksi demo buruh waktu lalu? Siapa yang mengira dokter yang sudah
terkenal dengan kehigienisannya mau berkotor-kotor kena asap knalpot motor dan
mobil hanya karena seorang dokter wanita di Manado, Sulawesi Utara? Siapa pula
mengira kalau kemarahan dokter yang teramat sangat itu karena putusan 'bodoh'
majelis hakim di Mahkamah Agung, kekuasaan kehakiman paling tinggi di
Indonesia? Siapa yang akan tidak takut ketika satu hari saja dokter mogok untuk
tidak bekerja.
Cerita kali ini hanyalah kutipan dari cerita seorang
dosen hukum pidana yang saya dengar beberapa hari ini. Ilmu hukum pidana saya
sangat cetek, mungkin setetes air hujan pun tidak ada. Jikalau ada kesalahan
dalam istilah, nama, tempat, dan hal terkait dengan peristiwa mohon untuk
dimaklumi. Saya harap bahwa inti dari cerita ini dapat tersampaikan
kepada teman-teman yang membaca blog ini. Mungkin sampai setahun tulisan ini
ditulis hanya tiga orang saja yang membaca tulisan ini. Tidak apalah yang
penting sudah bermaksud bertukar pikiran.
Saya kutip berita dari tribun sebagai bahan pembanding
terhadap tulisan saya:
TRIBUNNEWS.COM, MANADO - Satu demi satu, dokter yang
menangani pasien Siska Makelty hingga meninggal dunia ditangkap.
Setelah lama menjadi buron, dr Dewa Ayu Sasiary
Prawarni Sp OG dan dr Hendry Simanjuntak Sp OG akhirnya dieksekusi jaksa di dua
tempat yang berbeda berselang sekitar tiga pekan. Kini, jaksa masih memburu dr
Hendy Siagian Sp OG.
Mereka sebelumnya masuk dalam daftar pencarian orang
(DPO), pascaputusan kasasi yang telah berkekuatan hukum tetap dari majelis
kasasi Mahkamah Agung (MA). Adalah hakim agung Artidjo
Alkostar, Dudu Duswara dan Sofyan Sitompul yang menjatuhi para dokter itu vonis
bersalah.
Ketiga dokter itu, sempat dibebaskan oleh majelis
hakim tingkat pertama di Pengadilan Negeri Manado. Majelis hakim menyatakan,
tiga dokter spesialis itu tidak terbukti melakukan kelalaian. Namun, oleh
majelis kasasi, putusan itu dibatalkan.
Bagaimana putusan kasasi tersebut? Artidjo dan dua
hakim anggotanya menemukan kekeliruan penafsiran oleh hakim PN Manado. Majelis
menyatakan, tiga dokter itu terbukti melakukan kesalahan seperti diatur dalam
Pasal 359 KUHP. Maka, majelis kasasi menjatuhkan hukuman kepada tiga dokter
muda itu pidana penjara masing-masing 10 bulan.
"Menyatakan para terdakwa dr Dewa Ayu Sasiary
Prawani, dr Hendry Simanjuntak dan dr Hendy Siagian telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana 'perbuatan yang karena
kealpaannya menyebabkan matinya orang lain," demikian bunyi putusan kasasi
seperti dimuat di laman MA.
Dalam putusan, majelis kasasi menemukan kesalahan yang
dilakukan dr Ayu dan dua koleganya. Kesalahan para dokter itu, menurut hakim,
yakni tidak mempertimbangkan hasil rekam medis dari puskesmas yang merujuk
Siska Makatey.
Rekam medis itu menyatakan, saat masuk Rumah Sakit
(RS) Prof RF Kandou, Malalayang, Manado, keadaan Siska Makatey adalah lemah.
Selain itu, status penyakitnya adalah berat.
Kesalahan kedua, seperti dalam pertimbangan majelis
kasasi, sebelum menjalankan operasi darurat kelahiran atau cito secsio sesaria,
ketiga dokter itu tidak pernah menyampaikan kepada keluarga pasien setiap
risiko dan kemungkinan yang bakal terjadi, termasuk risiko kematian.
Dalam dakwaan jaksa bahkan dijelaskan, tanda tangan
Siska yang tertera dalam surat persetujuan pelaksanaan operasi berbeda dengan
tanda tangan Siska pada kartu tanda penduduk (KTP) dan Kartu Askes-nya. Dokter
Hendy-lah yang bertanggung jawab untuk meminta tanda tangan Siska.
Kesalahan ketiga, para dokter itu melakukan kelalaian
yang menyebabkan udara masuk ke dalam bilik kanan jantung Siska. Hal itu
menghambat aliran darah yang masuk ke paru-paru hingga terjadi kegagalan fungsi
jantung. Berefek domino, hal itu mengakibatkan kegagalan fungsi jantung.
Dalam dakwaannya, jaksa menjabarkan, sebelum melakukan
operasi, dokter tidak melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan
jantung dan foto rontgen dada. Padahal, sebelum dibius, tekanan darah Siska
tergolong tinggi, yaitu mencapai 160/70.
Pemeriksaan jantung baru dilakukan pascaoperasi
dilaksanakan. Dari pemeriksaan itu disimpulkan Siska mengalami kelainan irama
jantung. Denyut nadi Siska, pascaoperasi mencapai 180 kali per menit.
Hal itu, pertanda bahwa pada jantung pasien terjadi
kegagalan akut karena terjadi emboli, yaitu penyumbatan pembuluh darah oleh
suatu bahan seperti darah, air ketuban, udara, lemah atau trombus.
Menurut saksi Najoan Nan Warouw, Konsultan Jaga Bagian
Kebidanan dan Penyakit Kandungan yang bertugas saat operasi dilaksanakan,
keadaan yang dialami Siska pasti menyebabkan kematian.
"Selanjutnya, korban dinyatakan meninggal dunia
oleh bagian penyakit dalam," kata memori kasasi jaksa.
Majelis kasasi menilai, kesalahan itu mempunyai
hubungan sebab dan akibat dengan meninggalnya Siska. "Perbuatan para
terdakwa mempunyai hubungan kausal dengan meninggalnya Siska Makatey,"
kata majelis kasasi dalam putusan.
Dalam pertimbangan majelis kasasi, hal yang
meringankan dr Ayu dan kawan-kawan, yakni saat melakukan operasi, ketiganya
masih menempuh pendidikan pada Program Pendidikan Dokter Spesialis Universitas
Sam Ratulangi Manado. Artinya, saat melakukan operasi itu, tiga dokter itu
belum menjadi dokter spesialis kandungan, meski kini sudah.
Akibat putusan MA itu, para dokter yang tergabung di
beberapa organisasi profesi dokter menyampaikan protes dengan mogok praktik
hari ini. Meski demikian, anggota majelis kasasi Sofyan Sitompul bergeming.
Pasalnya, putusan kasasi memang bersifat final dan mengikat. "Sudah adil.
Sudah sesuai," katanya, Selasa (26/11/2013).
Bagaimana Anda puas hanya membaca artikel ini tanpa
mencernanya kembali dan Anda setuju dengan keputusan hakim ini? Lihat artikel
di bawah ini.
Kasus krusial dan ironis ini berawal dengan putusan
hakim MA bahwa Dr Ayu diputus hukuman penjara selama 10 bulan. Sontak dokter
seantero nusantara bereaksi. Di manakah sehatnya akal hakim itu ketika seorang
dokter hanya bermaksud menolong pasien tapi malah diputus bersalah. Memang sang
pasien meninggal dunia karena udara atau darah (saya tidak tahu yang mana)
maksud ke jantung. Dokter bedah dengan 100 surat izin praktikpun tidak akan
mampu mencegah keinginan Tuhan tersebut. Mana bisa seorang seorang dokter
reseiden dipersalahkan karena kematian seorang pasien. Saya sangat yakin
kejadian ini bukan pertama kalinya terjadi. Yaitu ketika seorang dokter gagal
menolong jiwa sang pasien. Namun hal ini pertama kalinya terjadi ketika kerabat
pasien tidak mampu menahan kesedihannya sampai menuntut sang dokter ke meja
hijau.
Peristiwa ini berawal dari seorang dokter wanita
sekaligus ibu rumah tangga sedang berjaga di rumah sakit. Dia kedatangan pasien
wanita yang akan melahirkan. Sang pasien meronta kesakitan dan tanpa pikir
panjang meminta dokter itu untuk menolongnya. Dokter menyadari sang pasien
tidak dalam kondisi sehat. Sudah ditunggu keluarga pasien tidak ada yang datang
akhirnya tanpa persetujuan keluarga korban dokter tersebut melakukan operasi
terhadap pasien. Tuhan berkehendak lain jiwa pasien tidak tertolong.
Sangat disayangkan keluarga menuntut sang dokter di
meja hijau karena ada dugaan mal praktik. Pada tingkat pengadilan negeri sang
dokter diputus bebas karena tidak ada bukti adanya mal praktik dalam hal ini.
Walau sang dokter adalah residen (yaitu dokter yang sedang mengambil
spesialis dan sedang magang di rumah sakit), sang hakim memutus bebas sang
dokter. Keluarga menuntut kasasi kepada mahkamah agung. Hakim mahkamah agung
memutus bersalah. Jaksa umum menuntut menggunakan peraturan kodifikasi yaitu
KUHP (kitab undang-undang hukum pidana), yaitu pasal xxx (saya lupa hehe) yang
isinya bahwa setiap orang yang karena kealpaannya membuat orang meninggal
dunia dapat dikenakan hukum penjara selama maksimal 5 (?) tahun. Saya lupa
pasal dan berapa tahun.
Alasan:
Keputusan hakim MA ini dipandang sangat lucu karena
sudah sangat jelas bahwa dalam hukum tertera bahwa lex specialis derogat le
generalis, mengapa seorang hakim tidak mampu menerapkannya. Undang-Undang
tentang praktik kedokteran dan kode etik profesi dokter seharunya dijadikan lex
specialis mengalahakan KUHP karena KUHP adalah lex generalis. Jelas hukum
khusus mengalahkan hukum yang umum. Sangat lucu ketika ahli hukum menggunakan
hukum umum yaitu KUHP. Ini baru satu alasan putusan hakim MA ini patut untuk
dipertanyakan.
Dalam UU tentang praktik kedokteran diterangkan bahwa
dokter wajib untuk mendapatkan persetujuan keluarga untuk dapat melakukan
tindakan medis terhadap pasien. Namun, di sana tidak ada sanksi yang mengatakan
jikalau tidak ada persetujuan. Ini tindakan prosedural yang biasanya ada di
dalam praktik kedokteran untuk meminta persetujuan. Pasal lain mengatakan pula
dokter dapat melakukan tindakan medis segera terhadap sang pasien. Ini jelas
ada pengecualian terhadap pasal sebelumnya. Hakim sayangnya tidak memakai dasar
hukum ini walau maksud sang dokter dalam keadaan mendesak menolong sang pasien.
Malah hakim menggunakan pasal KUHP yang sangat umum.
KUHP dalam pasal ini menerangkan bahwa ada yang
disebut sebagai orang yang alpa (yaitu dokter) dan ada korban yang meninggal.
Namun, adanya kealpaan itu menjadi sebab suatu kejadian terjadi. Seharusnya ada
sebab dan akibat yang sinkron antara sebab dan akibat itu. Sayangnya dalam
masalah ini kejanggalan muncul. Ketidaksinkronan antara sebab dan akibat. Hakim
ini menyatakan bahwa dokter ini didakwa karena dokter ini tidak memiliki surat
izin praktik dan tidak adanya persetujuan antara keluarga dan dokter untuk
melakukan tindakan medis terhadap pasien. Dua alasan ini menjadi alasan mengapa
dokter diputus bersalah sehingga menyebabkan kematian pasien. Sudah terlihatkah
kejanggalan di mata Anda? Belum ? saya akan jelaskan kepada semua. Seharusnya
ada hubungan sebab dan akibat. Sebab: tidak memiliki SIP dan tidak ada
persetujuan dengan keluarga. Akibat: orang meninggal dunia. Lalu apa
hubungannya kalau tidak ada SIP orang bisa meninggal. Lalu kalau dokter punya
SIP, orang tersebut akan tetap hidup? Saya tidak mampu menangkap logika
berpikir ini. Lalu kalau ada surat persetujuan keluarga dengan dokter dapat
dipastikan kalau orang itu akan bertahan hidup? Sekali lagi sudah saya katakan
sebelumnya ada gangguan dalam jantungnya, dokter dengan 10 SIP pun tidak mampu
menolong keadaan alam seperti itu. Inilah alasan kedua putusan hakim MA ini
dipertanyakan. Patutkah dua dakwaan ini dijadikan alasan untuk menghukum sang
dokter yang hanya bermaksud menolong.
Terkait dengan masalah SIP, surat izin praktik, hanya
bisa di dapat jika sang dokter sudah lulus dari spesialisnya baru dengan segala
embel-embel persuratan dan administrasi yang harus ditempuh sehingga akhirnya
mendapat surat izin praktik. Mana mungkin hakim dapat meminta ada tidaknya
surat izin praktik sedangkan sang dokter baru mengambil spesialisnya saat ini.
Sudah dapat dipastikan bahwa surat izin tidak dipegang oleh sang dokter. Lalu
mengapa sang hakim tetap menanyakan kepadanya dan menjadikan SIP sebagai alasan
salahnya tindakan dokter ini. Bagian mana yang membuat Anda tertawa saat ini?
Jelas sudah kalau dokter itu sedang menempuh spesialis. Titik, tidak ada koma.
Kalau benar hakim menyatakn final atas
putusannya, putusan ini akan menjadikan precedent yang buruk untuk keputusan
hakim selanjutnya. Precedent adalah keputusan hakim terdahulu yang menjadi
acuan dalam keputusan hakim selanjutnya. Ketika seorag dokter gagal
menolong orang maka dia akan dijatuhi hukuman. Kalau seperti ini maka akan
membahayakan manusia Indonesia. Mengapa? Bayangkan kalau dokter akhirnya
mengambil jalur aman, yaitu tanpa melakukan apa-apa terhadap pasien. Misal
hanya dengan menulis rujukan ke rumah sakit di kota besar, pasien pun meninggal
di ambulan pun tidak ada yang akan dipersalahkan. Bayangkan kalau semua dokter
melakukan hal tersebut,toh kalau jiwa seseorang tidak tertolong atas tindakan
tulus sang dokter, dokter pun akan tetap dipenjara. Lalu untuk apa dokter
menolong? bermaksud baik atau tidak pun tidak ada penjelasan apa pun atas
tindakan sang dokter karena dokterlah yang tahu keadaan pasiennya. Keluarga pun
tidak tahu bukan?
Di samping itu keadaan di rumah sakit. Tidak semua
dokter yang sudah punya SIP itu stand by di rumah sakit, sudah menjadi suatu
kebiasaan jika dokter spesialis bekerja di siang hari dan malam hari dokter
magang diberi otoritas untuk menangani pasien yang datang. Dokter satu itu
tidak mungkin untuk menangani semua pasien yang ada setiap hari maka dari itu
dokter - dokter residen diberdayakan untuk membantu dokter di rumah sakit.
Dokter-dokter ini diberdayakan untuk bergantian berjaga di rumah sakit. Itu
suatu kewajaran. Kok ini masih ini dipertanyakan adanya SIP.
Hal lain yang mungkin terlupa kepada kita bahwa
Indonesia sangat menganut adanya legalitas yaitu suatu perbuatan dapat dihukum
jika undang-undang sudah menyatakan itu salah. Kita sangat leterlek mengambil
keputusan hanya dari hukum tertulis, jelas disini hanya mengambil KUHP saja
(KUHP saja masih dipetanyakan). Padahal sumber hukum bukan hanya UU atau
legalitas saja. Masih ada sumber hukum yang lain yaitu kebiasaan (yaitu
kebiasaan di rumah sakit untukmeperkerjakn mahasiswa yang masih menempuh
spesialis untuk berkerja di di rumah sakit dan diberikan otoritas untuk
menangani pasien). Selain itu ada pula doktrin dari ahli (saya tidak ahli
bidang apa, bisa saja hukum. Saya sedang mencari buku apa dan internet sumber
doktrin barat ini). Doktrin adalah pendapat ahli hukum. Doktrin ini mengatakan
bahwa intinya jika ada dokter bedah yang karena kealpaannya (atau
ketidaksengajaan) menyebabkan sesuatu yang tidak baik terjadi pada pasien
(meninggal di sini) maka dokter bedah ini harus mengganti rugi berupa denda.
Doktrin sudah jelas menerangkan bahwa perkara ini masuk dalam perkara perdata.
Mengapa tiba-tiba muncul dan masuk dalam perkara pidana? Saya tidak tahu apa
sebabnya. Doktrin terkenal sekali di kalangan hukum dan medis dan diterapkan di
mana saja karena ahli hukum ini diakui kecakapannya dalam hukum. Mengapa doktrin
ini tidak dipakai dalam keputusan MA?
Hal yang bisa saya simpulkan. Mungkin saja hakim di MA
tidak mahir berbahasa Inggris sehingga tidak mampu mencerna maksud dari doktrin
berbahasa asing ini. Ya saya hanya menerka saja. Menurut cerita yang saya
dengar para hakim ini pernah studi banding ke Melbourne, Australia. Semua
percakapan dan tulisan pasti menggunakan bahasa Inggris. Lalu apa yang akhirnya
mereka bawa ke Indonesia? Siapa yang tahu. Saya hanya rakyat biasa.
Mungkin ini tulisan saya yang paling berisi menurut
saya selain pengalaman hidup yang saya alami. Setidaknya ada sedikit pencerahan
mengapa kasus ini muncul dan saya dapat memahami asal muasal dan mampu
bercerita kepada teman-teman yang sekedar iseng bertanya tentang kasus ini.
Namun, inti yang saya tangkap dari cerita ini adalah bahwa hukum itu diciptakan
untuk menciptakan keadilan tetapi hukum lah yang mampu pula menciptakan
ketidakadilan. Sangat klasik berbicara keadilan. Hidup harus adil, menempatkan
sesuatu pada tempatnya itu adil. Hukum di Indonesia menurut pribadi saya masih
melihat leterlek apa yang ada dalam pasal pada undang-undang tanpa memahami
maksud dari isi pasal itu. Ya, tentu saya tahu karena selama tiga tahun saya
harus membaca dan menghapal isi dari undang-undang, peraturan menteri, dan
surat edaran dirjen. Yang saya tahu bagaimana jika ada kasus ini ditangani
dengan pasal ini. Titik. tanpa memandang lagi pasal atau aspek lain. Ya,
sekarang waktu bagi saya untuk memahami isi pasal tidak hanya sekedar hapal
pasal.
Satu hal lagi yang saya lupa sampaikan efek dari
putusan hakim ini selain menjadikan precedent yang sangat buruk, ada akibat
yang lebih parah lagi. Jika semua dokter akhirnya tidak mau menolong orang lain
karena tidak mampu melakukan hal prosedural, maka bayangkan semua dokter hanya
akhirnya menuliskan surat rujukan ke rumah sakit lain dan dia tidak mau
menangani pasien itu. Bayangkan tidak hanya satu dokter tapi semua dokter di
Indonesia melakukan hal yang sama. Maka ketika pasien meninggal di ambulans,
dokter akan tetap aman karena tidak melakukan apa-apa setidaknya. Siapa yang
mau menolong tapi malah dipenjara? Hal lucu lagi yang terjadi di Indonesia.
LAIN pula ketika akhirnya semua dokter magang di rumah sakit di pelosok semua
ditarik kembali ke Jakarta dan tidak lagi menangani pasien di daerah terpencil,
lalu berapa lagi korban yang akan meninggal lagi? Berapa banyak nyawa yang akan
hilang sia-sia karena keputusan hakim ini.
Saya sama sekali tidak bermaksud membela satu pihak,
saya hanya bercerita fakta. Satu lagi di akhir cerita sang hakim mengatakan ini
sudah adil. Bagian mana yang disebut adil huh? ketika ribuan nyawa tidak dapat
tertolong karena keputusan hakim ini. Ketika ribuan dokter tidak bekerja dengan
hati dan bekerja menurut prosedur yang ada. Bayangkan kalau Anda keluarga
pasien dan hanya pasrah menerima surat rujukan tanpa da pertolongan lebih
lanjut dari dokter. Anda tidak akan mampu bayangkan bagaiman ajika dokter
dokter marah. Lalu bagian mana lagi yang Anda dapat sebut sebagai keadilan
ketika langkah prosedur harus dilakukan?
Kasus meninggalnya pasien adalah suatu kebiasaan yang
mungkin saja terjadi. Semua kematian dan kehidupan sudah ada yang mengatur
lewat tangan dokter. Jika semua dokter dipersalahkan karena meninggalnya
pasien, salahkan saja dokter dan tidak usah ada dokter lagi karena keluarga
korban tidak mapu mengontrol emosi.
Seperti yang saya katakan hukum di Indonesia masih
leterlek, atau masih berpacu pada tulisan dan legalitas yang ada. Artinya
segala sumber hukum itu tertulis (pokoknya). Sayangnya Indonesia masih
mengandalkan kepastian hukum di bawah payung rule of law (negara berdasarkan
hukum). Yang penting suatu kasus sudah ditangani sesuai dengan prosedur dan
pasal yang ada. Titik. Jika sudah dilakukan, hakim akan lepas dari tanggung
jawab karena sudah melaksanakan kewajiban dalam memutuskan. Keadilan tidak
menjadi pokok utama dalam mengambil keputusan. Semua berdasarkan pasal.
Mana yang disebut adil padahal hukum itu dibuat untuk keadilan.
OK kita ulas lagi alasan sang hakim:
Kesalahan para dokter itu, menurut hakim, yakni tidak
mempertimbangkan hasil rekam medis dari puskesmas yang merujuk Siska Makatey.
Rekam medis itu menyatakan, saat masuk Rumah Sakit (RS) Prof RF Kandou,
Malalayang, Manado, keadaan Siska Makatey adalah lemah. Selain itu, status
penyakitnya adalah berat. Iya, dokter pasti tahu hal ini. Karena pasien
mengerang kesakitan lalu apalagi yang akan dilakukan oleh dokter? Sudah diminta
puasa juga si pasien ketika akan dioperasi. Pasien sendiri sudah tidak mampu
menahan sakitnya. Apakah patut dokter hanya mendiamkan. Lalu menurut salah satu
dokter bahwa ada ketika pasien siap untuk dilakukan operasi dan dalam keadaan
sehat (setidaknya mampu untuk dilakukannya operasi sesuai dengan aturan kedokteran).
Lagipula apakah salah dr Ayu langsung melakukan operasi darurat karena melihat
kondisi pasien yang darurat pula? Salahkan saja dokter yang bertanggung jawab
pada pasien karena tidak memiliki obat pasiennya.
Kesalahan kedua, seperti dalam pertimbangan majelis
kasasi, sebelum menjalankan operasi darurat kelahiran atau cito secsio sesaria,
ketiga dokter itu tidak pernah menyampaikan kepada keluarga pasien setiap
risiko dan kemungkinan yang bakal terjadi, termasuk risiko kematian. Iya
tidak menyampaikan karena pihak keluarga tidak kunjung datang, lalu apakah
salah jika dokter langsung segera menolongnya atau salahkah kalau hanya diam
saja. Pastikan saja ketika dokter diam saja pasien mati ketika dioperasi
pilihannya masih ada dua yaitu hidup atau mati. Kenapa tidak memberikan saja
pada dua pilihan?
Kesalahan ketiga, para dokter itu melakukan
kelalaian yang menyebabkan udara masuk ke dalam bilik kanan jantung
Siska. Hal itu menghambat aliran darah yang masuk ke paru-paru hingga terjadi
kegagalan fungsi jantung. Berefek domino, hal itu mengakibatkan kegagalan
fungsi jantung.
Dalam dakwaannya, jaksa menjabarkan, sebelum melakukan
operasi, dokter tidak melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan
jantung dan foto rontgen dada. Padahal, sebelum dibius, tekanan darah Siska
tergolong tinggi, yaitu mencapai 160/70. Pemeriksaan jantung baru dilakukan
pascaoperasi dilaksanakan. Dari pemeriksaan itu disimpulkan Siska mengalami
kelainan irama jantung. Denyut nadi Siska, pascaoperasi mencapai 180 kali per
menit. Hal itu, pertanda bahwa pada jantung pasien terjadi kegagalan akut
karena terjadi emboli, yaitu penyumbatan pembuluh darah oleh suatu bahan
seperti darah, air ketuban, udara, lemah atau trombus. Menurut saksi Najoan Nan
Warouw, Konsultan Jaga Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan yang bertugas
saat operasi dilaksanakan, keadaan yang dialami Siska pasti menyebabkan
kematian. Kelalaian yang mana? saya tidak tahu lalai seperti apa kejadian
persinya karena saya bukan dokter yang ada di sana. Kelalaian yang bagaiman
akhirnya aliran darah masuk ke paru paru sehingga kegagalan fungsi jantung?
Saya tidak mempu menjelaskan hal medis bahwa dokter melakukan apa sampai udara
masuk ke pembuluh darah (jantung) lalu gagal jantung dan akhirnya meninggal.
Ini bentuk kelalaian yang seperti apa? Menurut dokter itu bahwa sampai sekarang
di literatur manapun tidak ada yang menerangkan mengapa sampai emboli udara
masuk ke dalam jantung. Penyebabnya saja para dokter belum tahu. Prosedur
operasi pun sesuai dengan prosedur yang benar melakukan bius lokal. Sayangnya
ketika dibangungkan sang pasien tidak bangun-bangun. Lalu mana lagi yang
disebut lalai? Manakah tindakan yang dapat disebut lalai?
Sekian cerita saya, bila ada sanggahan silakan, saya
masih bercerita dari sisi sang dokter. Jikalau ada yang tidak setuju, hal itu
adalah suatu kewajaran karena perbedaan itu menjadikan kita lebih tahu mana hal
yang kurang untuk diperbaiki bukan untuk disempurnaka karena kesempurnaan
adalah milik Tuhan.
Spasiba
Tidak ada komentar:
Posting Komentar