Mengayuh sepedaa tuamu tanpa lelah
Keringat mengucur deras dari dahi tidak kau hiraukan
Keringat mengucur deras dari dahi tidak kau hiraukan
Cuplikan
puisi di atas bercerita tentang perjuangan guru atau pendidik demi
memperjuangkan kecerdasan. Kalau melihat itulah salah satu tujuan
dibentuknya negara (Indonesia), yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa,
salah satunya lewat guru atau pendidik. Saya tidak akan bercerita
tentang pendidik yang materialistis, karena saya percaya bahwa tidak
ada pendidik yang materialistis. Pendidik akan selalu membuat dirinya
lebih baik agar dapat dilihat dan ditiru oleh para anak didiknya, salah
satu guru (read: lecturer) saya.
Terlepas
dari ada tidaknya gaji yang didapat beliau, beliau (tanpa sebut nama)
meluangkan waktu padat beliau demi membimbinga anak didiknya dalam ikut
suatu kompetisi penelitian ilmiah. Waktu minggu pun beliau sempatkan.
Walau beliau terkesan marah dan terlalu membuat down anak didiknya, beliau tetap memberikan solusi. Mungkin saya tidak bisa bilang marah atau mengunderestimate anak
didik. Beliau hanya 'terlalu' tegas atau tegas, entah dari ketepatan
waktu datang, susunan format penulisan, mencetak hasil tulisan kami,
membaca dengan cermat aturan yang seharusnya ada, dan lain-lain terkait
proses belajar.
Beliau
mengatakan bahwa bukan hasil yang kalian dapat nantinya, bukan kalian
dapat hadiah atau penghargaan. Penekanannnya pada proses belajarnya.
Bagaimana kalian bisa berhasil kalau kalian tidak pernah belajar.
Mungkin belajar itu proses bukan hasil. Kelihatannya itu hal paling
harus saya pahami bahwa belajar adalah proses seumur hidup, belum tentu
hasil akan saya terima di dunia.
Beliau
juga mengajarkan jika saya jangan mudah merasa rendah diri atau cengeng
atau berkecil hati ketika orang lain marah kepada kita atas kesalahan
kita, ketika orang lain mengunderestimate kita, ketika orang lain
membenci kita karena kita tidak akan pernah dianggap benar oleh orang
lain, jadi santai. Setiap tindakan yang saya dilakukan akan selalu selah
di mata orang lain entah hanya tidak suka atau memang dicari kelemahan
kita. Kita tidak akan pernah sempurna di mata orang lain. Jadi cukup
pantas bagi kita untuk terus memperbaiki diri. Itu saja. Tetap santai.
Hal
unik yang pernah diajarkan adalah kalau ada anak yang terlambat, ya
terlambat saja. Beliau tidak mengurus dan memikirkannya. Beliau hanya
menekankan untuk menghargai waktu dan komitmen. Mulutmu adalah
harimaumu. Sekarang saya mulai berhati-hati walau agak khawatir
tentunya. Tapi kadang saya merasa saya banyak juga salahnya ketika
beliau mengatakan banyak hal. Dari segi waktu saja, saya hampir tidak
dapat mengatur dengan cukup baik. Inilah waktunya memperbaiki diri.
Hal
lain yang membuat saya tertegun adalah "Buat diri kalian sebagai bangsa
terbaik." Saya harus selalu belajar dan tidak boleh sombong. Saya tidak
dapat kembali mengatakan "Malaysia saja pernah belajar kepada kita", ya
itu hanya masa lalu. "Negara Indonesia adalah macan Asia", ya itu
dahulu, "Malaysia tidak ada apa-apanya", ya sekarang kenyataanya kita
dapat melihat Malaysia mampu mengangkat ekonomi dan pendidikan mereka di
sana. Singapura saja, gaji paling kecil sekitar 25 juta kalau
dirupiahkan, lalu apa pantas kita sebagai bangsa sombong karena apa yang
pantas kita sombongkan sekarang. Jadikanlah kalian bangsa terbaik
membuat saya tahu bahwa saya harus belajar lebih kuat.
"mungkin"
saya hanya akan menjadi pegawai kecil di suatu institusi (kenyataan
buruk mungkin) di Indonesia dengan gaji yang cukup. Mungkin dunia tidak
melihat saya sebagai oraang baik atau rajin. Harapan pada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar